Kehormatanmu, Wahai
Saudaraku …
Apa bedanya memandang seorang wanita di majalah-majalah dengan di dunia nyata? Mungkin ada yang mengatakan, “Sudah tentu berbeda karena di dunia nyata objeknya nyata, sedangkan jika melihat di majalah, objeknya tidak nyata.”
Ketahuilah …
(Internet, HP, dan
Pandangan Mata)
Majalah porno dan
kisah-kisah murahan
Berbagai bentuk
majalah yang mengumbar nafsu, kisah-kisah yang penuh senda gurau, film-film
murahan, serta cerita-cerita yang merusak akhlak sangat berperan dalam
membangkitkan dan menyebarkan perbuatan zina dan keji.
Apa bedanya memandang seorang wanita di majalah-majalah dengan di dunia nyata? Mungkin ada yang mengatakan, “Sudah tentu berbeda karena di dunia nyata objeknya nyata, sedangkan jika melihat di majalah, objeknya tidak nyata.”
Mungkin memang benar
perkataan itu, namun tidakkah kita tahu bahwasannya hanya dengan melihat
gambar-gambar yang tidak senonoh, nafsu para lelaki dapat dibangkitkan dengan
mudah? Untuk apa kita melihat gambar-gambar yang ada di majalah membuat pikiran
tidak karuan? Allahu a’lam.
Majalah-majalah yang
berisi aneka bentuk dan tampilan bertujuan mengajak kepada perbuatan fasik dan
dosa yang membangkitkan hawa nafsu serta melanggar larangan Allah Ta’ala dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara tampilan
murahan tersebut adalah:
• Gambar-gambar penuh
godaan yang dimuat di sampul-sampul majalah. Begitu juga isinya.
• Foto para wanita
yang mengenakan dengan berbagai perhiasan yang memenuhi tubuhnya, padahal
foto-foto itu hanya memuat penipuan belaka.
• Perkataan-perkataan
jorok serta ungkapan dan kalimat yang tersusun memikat, namun jauh dari sifat
malu dan kemuliaan. Wallahu a’lam.
• Kisah-kisah
percintaan serta berita-berita seputar selebriti (para artis), penyanyi, dan
penari dari kalangan orang-orang fasik, baik dari kaum Adam maupun Hawa.
Isi majalah-majalah
tersebut jelas-jelas mengajak kepada perbuatan tabarruj (bersolek) di hadapan
lelaki yang bukan mahram, ikhtilath (campur baur) antara lelaki dan wanita yang
bukan mahram, serta tindakan mencabik-cabik hijab muslimah.
Tak lupa pula, pameran
busana yang mewah namun telanjang ditujukan kepada para wanita mukminah untuk
menjerumuskan mereka dalam budaya telanjang dan tasyabbuh(meniru) para wanita
“nakal”. Na’udzubillah min dzalik.
Diekspos pula tentang
gaya pelukan, ciuman, antara lelaki dengan wanita. Termasuk juga dimuatnya
berbagai macam cerita dan perkataan-perkataan menggebu-gebu yang membangkitkan
nafsu para pemuda dan pemudi, sehingga cerita tersebut akan mendorong mereka
untuk mengikuti jalan hidup yang menyesatkan dan menyimpang. Akhirnya, mereka
akan terjerumus dalam perbuatan zina (keji), dosa, dan percintaan yang
diharamkan.
Penyimpangan
penggunaan alat telekomunikasi (telepon atau HP)
Tidaklah menjadi
rahasia lagi bagi setiap muslim bahwa segala kenikmatan –yang dilimpahkan Allah
Ta’ala kepada kita– tidak terhitung jumlahnya. Di antara nikmat-nikmat tersebut
adalah ketersediaan alat komunikasi. Allah Ta’ala yang memudahkannya untuk kita,
dengan segala kemurahan dan kemuliaan-Nya. Seorang muslim yang cerdas tidak
akan salah menyikapi nikmat-nikmat yang telah Allah berikan. Allah Maha
Mengetahui, siapa saja hamba yang bersyukur di antara sekian banyak hamba yang
kufur (ingkar).
Hendaknya kita
tergolong orang yang pandai bersyukur atas nikmat-nikmat tersebut. Allah Ta’ala
berfirman,
وَاشْكُرُواْ نِعْمَتَ اللّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Dan syukurilah nikmat
Allah, jika hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (Q.s. An-Nahl: 114)
لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Q.s. Ibrahim:
7)
وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
“Dan apa saja nikmat
yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya). Dan bila kamu ditimpa oleh
kemudaratan maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (Qs. An-Nahl :
53)
Akan tetapi, jika kita
tidak menggunakan nikmat tersebut secara benar atau bahkan memberikan koneksi
kepada orang asing tanpa ada pengawasan, berubahlah nikmat alat-alat komunikasi
tersebut menjadi hal-hal yang membinasakan dan menghancurkan harga diri dan
kemuliaan seseorang.
Padahal Allah Ta’ala
berfirman,
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu pasti
akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di
dunia).” (Q.s. At-Takatsur: 8)
Mungkin pada mulanya,
sekadar perbuatan iseng yang tidak berguna. Namun ternyata, berakhir dengan
kerugian dan kedustaan. Bisa juga berawal dari salah sambung. Mulanya dari
sebuah panggilan salah sambung atau SMS salah kirim, akhirnya berlanjut ke
pembicaraan yang mengarah kepada perkenalan, atau bahkan menuju kemaksiatan!
Saya akan berikan
contoh nyata dalam kehidupan kita sekarang ini, yaitu masih adanya fenomena
lelaki muslim dan wanita muslimah yang bukan mahram melakukan SMS-an, dengan
dalih untuk berdakwah atau menyambung silaturahim.
Wahai jiwa-jiwa yang
lalai, pahamilah arti dari masing-masing dalih itu. Jika suatu cara dilakukan
dengan tujuan baik, namun cara itu harus melanggar syariat Allah Ta’ala, apakah
cara itu masih bisa dikatakan baik? Apakah para lelaki muslim yang tidak pandai
menjaga dirinya itu tidak berpikir bahwa SMS yang dia kirimkan –walau hanya
sekadar ucapan salam atau kiriman hadits-hadits yang berisikan hikmah yang
baik– tidak dapat menimbulkan fitnah (godaan) terhadap para wanita yang bukan
mahram mereka? Bisakah mereka menjamin tidak akan muncul fitnah (godaan)?
Telah saya jelaskan di
awal tulisan ini bahwa wanita itu dapat terfitnah juga dengan sesuatu yang ada
dalam diri seorang lelaki muslim (baca: ikhwan), baik itu berupa perhatian,
kebaikan, kelembutan, dan ungkapan-ungkapan manis terhadapnya.
Ini perlu menjadi
perhatian para ikhwan agar mereka semua berusaha tidak melakukan pelanggaran
dalam penggunaan alat telekomunikasi, khususnya HP (handphone). Bagaimana bisa
seseorang yang mengaku paham ilmu agama tidak mengetahui faktor-faktor fitnah
(godaan)? Kita berusaha berpikir positif bahwa mungkin saja dia terlupa akan
ilmu yang selama ini dipelajari, mungkin ia sedang khilaf, atau bisa juga
karena tidak ada teman yang menasihati dan mengingatkannya. Bukan ingin
menyalahkan seorang laki-laki dalam penggunaan alat telekomunikasi ini,
melainkan hendaknya ikhwan dan akhwatberusaha membuat batas-batas dalam
komunikasi yang terjadi antara mereka.
Saya berikan sedikit
penjelasan agar para ikhwan dapat memahaminya dengan baik, insya Allah.
Misalnya, jika ada seorang akhwat yang mengirimkan SMS ke nomor HP si ikhwan,
hendaknya dia benar-benar selektif dalam membalasnya. Mengapa demikian? Karena
bisa saja wanita ini hanya ingin mengetes ikhwan tersebut, hanya ingin mencari
perhatian, atau hanya mengisi waktu luang dengan mengirim SMS kepada lelaki
yang bukan mahramnya.
Jika memang harus
berkomunikasi dengan wanita yang bukan mahram kita, gunakanlah kata-kata yang
nadanya datar, maksudnya tidak bertele-tele atau mendayu-dayu layaknya sedang
merayu istri, atau dengan basa-basi yang tidak ditahui ujungnya membicarakan
apa. Selesai keperluan, tidak perlu harus bertanya hal-hal yang bukan haknya
untuk diketahui.
Contohnya:
Ikhwan: Assalamu
’alaykum, Ukhtiy. Maaf, kitab berjudul A karya siapa?
Akhwat: Wa’alaykumus
salaam wa rahmatullahi wa barakatuh. Karya B.
Selesai urusannya.
Tidak perlu harus bertanya yang tidak ada manfaatnya. Contohnya :
Ikhwan : Jazaakillahu
khoyran ya, Ukhtiy. Waktu itu belinya di mana? Dengan siapa? Oiya, anti sudah
baca? Kalau sudah, bagus tidak? Kapan-kapan, saya boleh pinjam ya, Ukhtiy? Apa
anti sekarang lagi membacanya ya? Semangat ya, Ukhtiy!
Mungkin juga dapat
berupa pertanyaan yang jauh lebih aneh dan memalukan.
Contohnya:
Ikhwan: Assalamu
’alaykum, Ukhtiy. Apa info kajian hari ini telah dikirim?
Akhwat: Wa’alaykumus
salaam wa rahmatullahi wa barakatuh. Sudah.
Ikhwan: Jazaakillahu
khoyran ya, Ukhtiy. Nanti berangkat atau tidak? Sama siapa berangkatnya? Jangan
lupa membawa buku catatan ya, Ukhtiy…!
Subhanallah ….
Wahai para lelaki
muslim, sungguh semua ini pertanda seorang laki-laki tidak pandai menjaga
dirinya. Mengapa? Bisa saja, bermula dari percakapan yang ringan dan sederhana,
hingga percakapan yang semakin lama semakin tidak ada faedahnya. Haruskah
pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya tidak ditujukan pada orang yang bukan
mahram kita keluar dari lisan kita? Ataukah rasa takut akan munculnya
fitnah(godaan) telah hilang dari jiwa ini? Sekali saja seorang laki-laki
membuka kesempatan kepada seorang wanita untuk melakukan percapakan yang tidak
penting, maka wanita tersebut akan berusaha membuka percakapan-percakapan
selanjutnya yang jauh lebih tidak penting lagi. Ini telah terjadi di zaman
sekarang.
Mungkin bisa saja kita
menghapus pesan-pesan yang ada di dalam HP kita, atau dengan mengganti nama
lelaki menjadi nama wanita di dalam phonebook HP kita, atau sebaliknya. Wahai
para lelaki, bersikap jujurlah dan jangan hancurkan diri dengan kedustaan.
“Sesungguhnya
kejujuran adalah sebuah kebajikan, sedangkan kebajikan akan menuntun seseorang
menuju surga. Sesungguhnya seorang hamba bermaksud untuk jujur sampai ia
tercatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Sesungguhnya kedustaan
merupakan sebuah kekejian, sedangkan kekejian akan menuntun seseorang menuju
neraka. Sesungguhnya seorang hamba bermaksud untuk berdusta hingga ia tercatat
di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (H.r. Muslim, no. 4720)
Dalam memberikan nomor
HP pun sebaiknya harus selektif agar kita tidak terganggu oleh orang-orang yang
kurang kadar tauhidnya kepada Allah.
Mungkin ada orang yang
akan menjawab “Kalo gitu, kita enggak usah beli pulsa, biar enggak bisa SMS-an.
Kalo gitu, kembali aja ke zaman dulu, biar enggak perlu pakai HP.”
Mungkin juga ada yang
berucap, “Salah siapa SMS ke nomor HP saya!”
Mungkin juga ada
jawaban seperti ini, “Baiklah, kalo gitu, saya enggak perlu beli HP, biar
enggak bisa komunikasi dengan lawan jenis!”
Demi Allah, bukan itu
semua yang dimaksud. Pesan yang ingin disampaikan melalui nasihat ini hanyalah
agar hendaknya setiap muslim dan muslimah membuat batas-batas dan aturan-aturan
dalam menggunakan HP serta mengamalkan ilmu agama yang telah dipelajari dan
dipahami.
Sungguh bijak petuah
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, “Inti ilmu adalah rasa takut kepada Allah Ta’ala.”
Internet dan
penggunaannya yang buruk dan menyimpang
Internet bisa
bermanfaat, sekaligus bisa mendatangkan musibah dan bahaya. Faedahnya sangat
banyak dan tak terhitung jumlahnya. Bahayanya juga sangat banyak dan tidak
terhitung lagi. Ini adalah perkara yang nyata dan tidak diragukan lagi! Sedang
kenyataan yang ada menjadi bukti atas kebaikan dan keburukan internet.
Kemudahan dalam
mengoperasikan, menggunakannya, dan menikmati segala fungsinya membuat internet
menjadi pisau bermata dua.
Pada penyebab
kesepuluh ini, saya tidak akan banyak menjelaskan hingga detail karena jika
kita memahami perkataan Ibnu Mas’ud bahwa inti ilmu adalah rasa takut kepada
Allah, maka insya Allah kita dapat mengamalkan perintah-perintah Allah Ta’ala
dalam penggunaan internet. Pada zaman sekarang ini, teknologi sudah semakin
canggih sehingga jika kita mau bermaksiat, itu bukanlah hal yang sulit. Kendati
demikian, hendaknya kita membaca dan memahami firman Allah Ta’ala,
فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى
“Dia mengetahui
perkara rahasia dan perkara yang lebih tersembunyi lagi.” (Q.s. Thaha: 7)
فَيُنَبِّئُهُم بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ
“Allah mengumpulkan
(mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya.” (Q.s.
Al-Mujadalah: 6)
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia mengetahui
(pandangan) mata yang khianat dan segala hal yang disembunyikan oleh hati.”
(Q.s. Ghafir: 19)
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai
pertanggungjawaban.” (Q.s. Al-Isra’: 36)
Apalagi dengan adanya
situs jejaring facebook (FB). Tentu sudah tidak asing lagi namanya bagi kita.
Telah ada artikel yang menasehatkan tentang bahayanya jika kita melakukan “add”
atau “confirm” terhadap lawan jenis atau artikel tentang cara ber-FB agar kita
tidak terjerumus dalam kemaksiatan. Akan tetapi, hanya sebagian orang yang
mengambil hikmahnya.
Renungkanlah …. Bukan
berarti jika kita tidak melakukan “add” atau “confirm” terhadap lawan jenis
lantas kita telah aman dari fitnah (godaan). Kembali ingatlah perkataan Ibnu
Mas’ud, bahwa inti ilmu adalah rasa takut kepada Allah Ta’ala.
Sebaiknya kita pun
cerdas dalam menilai suatu pesan itu penting atau tidak jika kita kirimkan
untuk lawan jenis. Bisa saja tidak terlalu penting, namun dibuat agar terkesan
penting. Bisa jadi pula, pertanyaan yang diajukan tidak terlalu bermanfaat,
namun dibuat-buat agar terlihat bermanfaat. Semua fenomena ini bisa saja
terjadi pada ikhwan maupunakhwat. Masalah ini hendaknya jangan diremehkan.
Jangan sampai kita tenggelam dalam dosa hanya gara-gara penggunaan FB yang
melampaui batas.
Cermatilah sebuah
syair dari Ibnu Mu’taz berikut ini.
“Tinggalkan dosa-dosa,
baik yang kecil maupun yang besar
Itulah takwa Bersikaplah
seperti orang yang berjalan di atas tanah berduri
Ia akan berhati-hati
kepada perkara yang dilihatnya
Janganlah kau remehkan
sesuatu yang kecil
Karena gunung itu
berasal dari kerikil-kerikil kecil.” (Lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, I:402)
Mungkin kita pernah
mendengar sebagian orang menjawab seperti ini jika menjumpai pembahasan “add”
atau “confirm“ terhadap orang yang bukan mahramnya, “Cuma seperti itu saja
diributkan. Yang penting ‘kan niatnya baik. Tujuannya ‘kan baik, yaitu untuk
berdakwah. Jadi, kalau ada FB ikhwan atau akhwat di FB kita, ya tidak apa-apa
lah! Jangan dibuat ribet!”
Mari kita tanyakan
kepada hati kita yang paling dalam, apakah kita bisa menjamin keadaan hati kita
dari adanya fitnah (godaan)? Apakah kita sudah mampu mendirikan benteng kokoh
agar tidak ada fitnah yang datang menggerogoti kehidupan kita? Ataukah kita
telah memiliki kemampuan untuk menerka waktu akan datangnya fitnah (godaan) ke
dalam hari-hari kita? Sementara, hati kita ini diciptakan dalam keadaan lemah
….
Allah Ta’ala
berfirman,
وَخُلِقَ الإِنسَانُ ضَعِيفاً
“Manusia itu
diciptakan dalam keadaan lemah.” (Q.s. An-Nisa’: 28)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Segeralah beramal sebelum datangnya fitnah. Fitnah
yang bagaikan potongan gelapnya malam; seseorang yang beriman di pagi hari
kemudian menjadi kafir di sore hari, atau seorang yang beriman di sore hari
kemudian menjadi kafir di pagi harinya. Dia menukar agamanya dengan sebagian
perhiasan dunia.” (H.r. Muslim, no. 328)
Ingatlah, hati kita
ini terletak di antara dua jari-jemari Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdoa, “Ya Allah, Dzat yang Maha membolak-balikkan hati, tetapkanlah
hati kami di atas agama-Mu.” Kemudian ada yang bertanya tentang doa tersebut.
Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya, tidaklah anak Adam melainkan hatinya
berada di antara dua jari dari jemari-jemari Allah. Siapa saja yang dikehendaki
maka Allah akan luruskan dia, dan siapa yang dikehendaki maka Allah akan
simpangkan dia.” (H.r. Tirmidzi, no. 3517; Syekh Al-Albani mengatakan bahwa
sanad hadits ini shahih)
Mungkin juga, kita
meremehkan dosa-dosa kecil dengan melakukan “add” atau “confirm”, hingga akhirnya
kita bermudah-mudahan dalam berinteraksi dengan lawan jenis yang bukan mahram
kita, lalu penghujungnya adalah datangnya badai musibah dalam kehidupan kita.
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah
yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan
Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Q.s. Asy-Syura`:
30)
Ali bin Abi Thalib
radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena
dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan
taubat.” (Al-Jawabul Kafi, hlm. 87)
Perkataan Ali
radhiallahu ‘anhu tersebut selaras dengan firman Allah Ta’ala,
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah
yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan
Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Q.s. Asy-Syura`:
30)
Para ulama salaf pun
mengatakan yang serupa dengan perkataan di atas.
Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah rahimahullah mengatakan, “Di antara akibat dari perbuatan dosa
adalah hilangnya nikmat, dan akibat dosa adalah datangnya bencana (musibah).
Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa.
Begitu pula, datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Al-Jawabul
Kafi, hlm. 87)
Ibnu Rajab Al-Hambali
rahimahullah mengatakan, “Tidaklah suatu kejelekan (kerusakan) disandarkan pada
sebuah hal melainkan pada disandarkan pada dosa karena semua musibah disebabkan
oleh dosa.” (Latha’if Al-Ma’arif, hlm. 75)
Wahai para lelaki
muslim, pahami dan renungilah perkataan-perkataan berikut ini!
Umar bin Abdul Aziz
mewanti-wanti penasihatnya, Maimun bin Mahran, agar tidak berdua-duaan dengan
wanita meskipun dengan alasan mengajarkan Alquran, “Aku memberi wasiat kepadamu
dengan wasiat yang harus kau jaga. Janganlah engkau berdua-duaan dengan wanita
yang bukan mahrammu, walau batinmu berkata bahwa kau akan mengajarinya
Alquran.” (Lihat kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’, V:272)
Hendaknya, kita pun
memegang erat-erat wasiat Umar bin Abdul Aziz tersebut. Jangan merasa diri kita
aman dari fitnah (godaan).
Oleh karena itu,
semoga Allah merahmatimu …. Berhati-hatilah dalam menghadapi faktor-faktor
bencana.
Orang yang mendekati
fitnah akan sulit selamat darinya. Sebagaimana kehati-hatian diiringi oleh
keselamatan, tindakan mendekati fitnah itu akan diiringi oleh kebinasaan.
Jarang ada orang yang selamat dari fitnah setelah dia mencoba mendekatinya.
Yaitu, ia tidak terbebas dari memikirkan, membayangkan, dan menginginkannya.
Semua ini menggelincirkan. (Dzammul Hawa’, hlm.153)
Melanjutkan perkataan
di atas, Ibnul Jauzi menguraikan nasihat, “Seandainya berduaan dengan wanita
ajnabiyyah (bukan mahram) diperbolehkan, kamu tetap tidak dapat selamat dari
penyakit-penyakit ini. Terlebih lagi, ternyata itu diharamkan.” (Dzammul Hawa’,
hlm.153)
Terdapat sebuah
nasehat dari seorang sahabat wanita muslimah di seberang sana, ketika saya
bertanya padanya apakah dia melakukan “add” atau “confirm” pada lelaki yang
bukan mahram. Jawabannya sederhana dan membuat saya kagum.
Ketika itu saya
bertanya, “Maaf, Ukhti. Apakah anti melakukan ‘add‘ atau ‘confirm‘ kepada yang
bukan mahram?”
Beliau menjawab,
“Tidak, Ukhti. Di facebook saya hanya ada mahram saya, sehingga hanya ada 35
orang yang memang jelas mahram saya.” Kemudian beliau pun berkata kepada saya “Wahai
saudariku, kapan kita akan menaati perintah Allah Ta’ala dan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertakwa kepada Allah Ta’ala dan
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam jika bukan sekarang!!”
Padahal tidak pernah
sedikit pun kita mengetahui arah kedatangan maut. Memilikifacebook bukan untuk
bermaksiat, namun seharusnya setiap kaum muslimin semakin hati-hati dalam
menggunakan kenikmatan tersebut agar tidak terjerumus ke dalam lubang hitam
kemaksiatan. Begitulah jawabannya. Padahal beliau telah menikah dan memiliki
tiga orang anak. Lantas, bagaimana kita yang belum menikah? Apakah kita telah
merasa aman dari fitnah? Tentu saja, ini berlaku bagi para lelaki muslim maupun
wanita muslimah.
Allah berfirman,
وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“… Dan bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.s.
Al-Baqarah: 231)
وَاتَّقُواْ يَوْماً تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ
“Dan peliharalah
dirimu (dari azab yang terjadi) pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan
kepada Allah. Kemudian setiap orang diberi balasan sempurna sesuai dengan
perbuatan yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan).” (Q.s.
Al-Baqarah: 281)
Racun yang mematikan
yaitu pandangan yang diharamkan
Tahukah engkau apa itu
“mata yang berkhianat”?
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman dalam surat Al-Mu’min, ayat 19.
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ
“Dia mengetahui
(pandangan) mata yang berkhianat ….”
Apa yang dimaksud
dengan “mata yang berkhianat” itu?
Sebaik-baik penafsiran
adalah tafsir para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena
itu, mari kita merujuk kepada penafsiran seorang Turjumanul Qur’an (Penerjemah
Alquran), Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu; beliau berkata, “Seseorang berada di
tengah banyak orang lalu seorang wanita melintasi mereka. Maka, ia
memperlihatkan kepada kawan-kawannya bahwa ia menahan pandangannya dari wanita
tersebut. Jika ia melihat mereka lengah, ia pandangi wanita tersebut. Jika ia
khawatir kawan-kawannya memergokinya, ia menahan pandangannya. Padahal, Allah
‘Azza wa Jalla mengetahui isi hatinya bahwa ia ingin melihat aurat wanita
tersebut .”
Ketahuilah …
Sedikitnya rasa malumu
terhadap siapa yang berada di sebelah kanan dan sebelah kirimu –saat kamu
melakukan dosa– itu lebih besar daripada dosa itu sendiri!
Dan tertawamu saat
kamu tidak tahu apa yang akan Allah perbuat terhadapmu, itu lebih besar dari
pada dosa itu sendiri!
Dan kegembiraanmu
dengan dosa ketika kamu melakukannya, itu lebih besar daripada dosa itu
sendiri!
Perhatikanlah wasiat
salaf berikut ini, “Penglihatanmu tidak lain adalah nikmat dari Allah.
Janganlah mendurhakai-Nya dengan menggunakan nikmat-Nya. Perlakukanlah
penglihatan tersebut dengan menahannya dari perkara yang haram, niscaya kamu
akan beruntung. Jangan sampai engkau mendapat hukuman berupa hilangnya
kenikmatan itu. Waktu berjihad untuk menahan pandangan itu sejenak. Jika kau melakukannya,
kau ‘kan dapatkan kebaikan yang banyak dan selamat dari keburukan yang
panjang.”
Perhatikan pula
untaian kata mutiara yang dikutip Ibnul Jauzi, “Seorang pemberani bukanlah
orang yang melindungi tunggangannya pada saat berada di medan laga dan ketika
api peperangan tengah berkecamuk. Akan tetapi, pemuda yang menahan padangannya
dari yang haram, itulah Sang Ksatria!” (Dzammul Hawa, hlm. 143–181)
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Pandangan merupakan anak panah beracun dari
anak-anak panah Iblis. Maka, barang siapa yang menahan pandangannya karena
Allah dari kecantikan seorang wanita, niscaya Allah akan mewariskan rasa manis
dalam hatinya sampai hari pertemuan dengan-Nya.” Demikianlah makna hadits
tersebut. (Lafal hadits yang disebutkan tercantum dalam kitab Ad-Da’ wa Dawa’
karya Ibnul Qayyim tersebut diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak
(IV:313), Al-Qudha’i dalamMusnad Asy-Syihah (no. 292), dan Ibnul Jauzi dalam
Dzammul Hawa (hlm. 139) dari jalur Hudzaifah)
Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Tundukkanlah pandangan kalian dan peliharalah
kemaluan kalian.” (H.r. Ahmad, V:323; Al-Hakim, IV:358; Ibnu Hibban, no. 2547,
Ibnu Abi Dun-ya dalam Ash-Shamt, no. 446; Al-Kharaithi dalam Makarimul Akhlaq,
hlm. 31; Al-Baihaqi, VI:288; diriwayatkan dari ‘Ubadah. Al-Haitsami dalam
Al-Majma’, IV:145; dan Al-Mundziri dalam At-Targhib, III:64, menyatakan bahwa
hadits tersebut mempunyai cacat, berupa keterputusan sanad antara Al-Muththalib
bin ‘Abdullah dan ‘Ubadah.
Namun, hadits tersebut
mempunyai penguat yang diriwayatkan oleh Al-Hakim, IV:359; Abu Ya’la, no. 4257;
dan Al-Kharaithi, hlm. 30; dari Anas, dengan sanad hasan, insya Allah)
Ada seorang yang
berkata, “Setiap bencana berawal dari pandangan mata, sebagaimana api yang
besar berasal dari percikan bara. Betapa banyak pandangan sanggup menembus
relung hati pemiliknya, seperti kekuatan anak panah yang lepas dari busur dan
talinya! Seorang hamba, selama mengumbar pandangannya untuk memandang
selainnya, maka dia berada dalam bahaya. Ia menyenangkan mata dengan sesuatu
yang membahayakan hatinya, maka janganlah menyambut kesenangan yang akan
membawa bencana.
Di antara bencana yang
ditimbulkan adalah warisan penyesalan, kehadiran malapetaka, dan kobaran nafsu.
Tatkala seorang hamba melihat suatu perkara yang tidak mampu diraihnya, juga
tidak mampu bersabar atasnya, sesungguhnya hal ini merupakan salah satu bentuk
siksaan yang paling pedih. Yaitu, (penderitaan yang menerpa) manakala kamu
melihat perkara yang kamu tidak mampu bersabar atas perkara tersebut, tidak
juga atas sebagiaannya, bahkan kamu tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk
meraihnya.” (Dinukil dari kitab Ad-Da’ wa Dawa’, hlm. 351–352)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kamu mengikutkan sebuah pandangan dengan
pandangan berikutnya sebab hanya pandangan pertama yang dibolehkan bagimu,
tidak untuk pandangan setelahnya.” (H.r. Abu Daud, no. 2149; At-Tirmidzi, no. 2777;
Ahmad, V:353 dan 357; Al-Baihaqi, VII:90)
Teman yang buruk
“Seseorang itu
tergantung kepada agama teman dekatnya, maka hendaklah salah seorang di antara
kalian melihat siapa yang dijadikan teman karibnya.” (Hadits hasan; riwayat
Tirmidzi, no. 2387; Ahmad, no. 8212; Abu Daud, no. 4833)
“Sesungguhnya
perumpamaan teman yang shalih dengan teman yang buruk adalah seperti penjual
minyak wangi dan pandai besi. Seorang penjual minyak wangi bisa memberimu atau
kamu membeli darinya, atau kamu bisa mendapatkan wanginya. Seorang pandai besi
bisa membuat pakaianmu terbakar, atau kamu mendapat baunya yang tidak sedap.”
(Hadits shahih, riwayat Bukhari, no. 5534; Muslim, no. 2638; Ahmad, no. 19163)
Dari Musayyab bin Hazn
radhiallahu ‘anhu; ia berkata, “Menjelang kematian Abu Thalib, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuinya. Ternyata di sana sudah ada Abu
Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah bin Mughirah. Lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, ‘Wahai pamanku, ucapkanlah ‘la ilaha illallah’,
ucapan yang dapat kujadikan saksi terhadapmu di sisi Allah.’ Namun, Abu Jahal
dan Abdullah bin Abu Umayyah berkata, ‘Wahai Abu Thalib, apakah engkau membenci
agama Abdul Muthalib?’
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam terus-menerus menawarkan kalimat tersebut dan mengulang-ulang
ucapan itu kepada Abu Thalib, sampai ia mengatakan ucapan terakhir kepada
mereka bahwa ia tetap pada agama Abdul Muthalib dan tidak mau mengucapkan ‘la
ilaha illallah’. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sungguh, demi Allah, aku pasti akan memintakan ampunan untukmu, selama aku
tidak dilarang melakukan hal itu untukmu. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan
firman-Nya (yang artinya), ‘Nabi dan orang-orang beriman tidak pantas
memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang
musyrik itu adalah kaum kerabat mereka, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya
orang-orang musyrik itu penghuni neraka jahim.’ Mengenai Abu Thalib, Allah
Ta’ala menurunkan firman-Nya (yang artinya), ‘Sesungguhnya kamu tidak akan
dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui
orang-orang yang mau menerima petunjuk.’” (H.r. Al-Bukhari, no. 4675 dan 4772)
Kebutuhan manusia akan
lingkungan yang baik laksana kebutuhan tanaman akan tanah yang subur. Manakala
tanah itu bagus, cukup kandungan unsur haranya, suhunya cocok, dan airnya
cukup, maka tanaman tersebut akan bersemi, tumbuh berkembang, dan berbuah
sesuai dengan harapan. Namun, manakala tanah tersebut kering dan tandus,
suhunya tidak cocok, dan airnya tidak cukup, maka tanaman tersebut tidak akan
berkembang dengan baik dan sangat mungkin tanaman tersebut akan sakit atau
bahkan mati.
Sebagaimana tanaman
yang harus ditempatkan dalam tanah yang baik, dalam hubungan pertemanan pun,
hendaklah kita mencari teman yang shalih yang dapat mendukung kita untuk selalu
istiqamah dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan
adanya teman-teman yang “bergizi” baik, keimanan kita akan tetap terjaga.
AllahSubhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطاً
“Dan sabarkanlah
dirimu beserta orang-orang yang menyeru Rabbnya di waktu pagi dan petang dengan
mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kamu palingkan wajahmu dari mereka hanya
karena kamu menghendaki perhiasan dunia, dan janganlah kamu ikuti orang-orang
yang telah Kami lalaikan hatinya dari mengingat Kami, dan menuruti hawa
nafsunya, dan adalah keadaannya sangat melewati batas.” (Q.s. Al-Kahfi: 28)
Penulis: Ummu Khaulah
Ayu.
Muraja’ah: Ustadz Aris
Munandar, S.S., M.A.
Artikel www.muslimah.or.id