Ikhlas… sebuah kata yang mudah diucapkan dengan lidah
namun tidak mudah melekat di hati, lihatlah keadaan para salaf kita, mereka
orang yang paling terjaga hatinya, menyelami kehidupan mereka seperti kita
bertamasya ke taman bunga, indah di mata, wangi terasa, dan keteduhan akan
datang menyapa kita.
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata,
”Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada
menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam
kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlak luhur mereka.” (Al-Madkhol, 1/164, Mawqi’ al-Islam).
Para salaf dahulu selalu menjaga hati mereka, mereka
takut mata-mata manusia melihat ibadahnya, mereka menyembunyikan amal baktinya
melebihi kondisi mereka dalam menyembunyikan emas-permata, mereka takut
digugurkan pahala amal ibadah mereka.
”Sebagian kaum salaf mengatakan, ”Aku berharap
ibadahku hanyalah antara diriku dengan Alloh, tidak ada mata yang melihatnya.””
Marilah kita simak mutiara kisah dari para salaf, yang
dengannya akan tergambar luasnya samudra keikhlasan mereka :
Sufyan ats-Tsaurirahimahullah berkata
: ”Tidaklah aku bersungguh-sungguh mengobati sesuatu hal, melebihi
kesungguhanku dalam menjaga hatiku, karena ia selalu berubah-ubah padaku.” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 18, karya Ibnu
Rojab al-Hambali, cet. Ke-1, Dar el-Aqidah, Kairo, Mesir tahun 2002).
Benarlah apa yang beliau katakan, karena hati manusia
ibarat kapas yang berada di tanah yang luas lagi lapang, kemudian datanglah
angin kencang yang menyapa, maka terombang-ambinglah kapas tadi melaju tanpa
tujuan.
Keikhlasan kaum salaf dalam menangis karena Alloh
Diriwayatkan bahwa Sufyan ats-Tsaurirahimahullah menangis, kemudian beliau berkata,
”Aku takut ditulis oleh Alloh sebagai orang yang celaka,” beliau terus
menangis, kemudian berkata, ”Aku takut keimanan ini dicabut dari diriku ketika
aku akan meninggal dunia.” ini menunjukkan bagaimana takutnya beliau dari
terbaliknya hati dari keimanan menuju kekufuran. (Khusnus Khotimah wa Suu’uhaa, karya
Kholid bin ’Abdurrohman asy-Syayi’, hal. 4, cet. Al-Maktab at-Ta’awuny).
Diriwayatkan bahwa Imam Malik bin Dinarrahimahullah berdiri di tengah malam sambil
memegang jenggotnya, seraya berkata : ”Ya Ilaahi, engkau telah mengetahui siapa
saja (di antara hambamu) yang masuk surga dan siapa saja yang jadi penghuni
neraka, lalu kemanakah tempat kembaliku (apakah surga yang ku tuju ataukah
neraka yang menantiku). Beliau selalu mengucapkannya sampai datang waktu Subuh
(fajar).” (Khusnul Khotimah wa Suu’uhaa, hal. 4).
Diriwayatkan pula bahwa Ayyub as-Sikhtiyaanirahimahullah adalah seorang yang berhati lembut,
apabila beliau menjumpai ibroh (hikmah),
maka beliau tak kuasa menahan air matanya, kemudian beliau mengusap wajah dan
hidungnya sambil berkata, ”Alangkah berat penyakit flu ini,” beliau melakukan
itu karena tidak ingin tangisannya karena Alloh diketahui orang lain. (Siyar A’laam an-Nubala’, 6/20, karya al-Imam
Adz-Dzahabi).
Jika salah seorang dari generasi tabi’in tidak mampu
berpura-pura sakit untuk merahasiakan air matanya, ia berdiri sebab khawatir
air matanya diketahui banyak orang. Itulah yang disebutkan Imam Hasan
al-Bashri. Ia berkata, ”Seseorang duduk di satu tempat. Jika air matanya
keluar, ia menahannya. Jika ia khawatir air matanya tidak dapat dibendung, ia
berdiri.” (Az-Zuhd, Imam Ahmad : 262).
Al-A’masirahimahullah mengatakan,
”Suatu saat Hudzaifah menangis di dalam sholatnya. Setelah selesai maka beliau
berbalik dan ternyata ada orang dibelakangnya maka beliau pun berkata, ”Jangan
kamu beritahukan hal ini kepada siapapun.”” (Diriwayatkan oleh al-hasan
adh-Dhorrob dalamDzamm ar-Riya’, dinukil
dari Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbabi Tafadhul al-A’mal, hal.
53, cet. Dar al-Imam Ahmad, 1428 H).
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi Laila melaksanakan sholat,
kemudian tatkala di merasa ada seseorang yang akan masuk (kamarnya) maka beliau
langsung berbaring di tempat tidurnya. Sebagaimana diriwayatkan pula bahwa
sebagian para salaf dahulu melaksanakan sholat dan menangis, kemudian tatkala
ada seorang tamu yang datang maka mereka segera mencuci wajah-wajah mereka
untuk menghilangkan bekas air mata mereka (Lihat Miftah al-Afkar li at-Ta’ahhubi li Dar al-Qoror, 2/27,
karya ’Abdul ’Aziz bin Muhammad as-Salman).
Itulah para ulama’, tangisan
mereka adalah tangisan keikhlasan, keteduhan dan sumber kebahagiaan, bukan
tangisan kepura-puraan, kemunafikan dan berharap pujian sebagaimana yang
dilakukan kebanyakan manusia zaman sekarang, semoga mata mereka –para salaf-
dijaga oleh Alloh dari api neraka.
Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: ”Ada dua mata yang tidak tersentuh api neraka : mata yang menangis karena
Alloh dan mata yang terjaga di malam hari karena berjuang di jalan Alloh.”
(Dikeluarkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya : 1337 dan
dishohihkan al-Albani dalam al-Miskat :
3829).
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda : ”Tujuh golongan yang Alloh naungi pada
hari kiamat nanti di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan Alloh,
kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
di antaranya : seseorang yang mengingat Alloh dalam kesendiriannya kemudian
mengalirkan air matanya.” (Dikeluarkan Imam Bukhori dalam Shohih-nya : 1357 dan Imam Muslim : 2427).
Tidakkah kita melihat tangisan Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Diriwayatkan dari
’Ubaid bin ’Amir radhiyallahu ‘anhu :
”Sesungguhnya dia bertanya pada ’Aisyah radhiyallahu ‘anha :
”Kabarkan kepada kami perkara yang paling Anda kagumi dari Rosululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,” kemudian beliau
(’Aisyah) berkata, ”Pada suatu malam Rosululloh Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, ”Wahai ’Aisyah, biarkan aku
menyembah kepada Tuhanku malam hari ini,” maka aku berkata, ”Ya Rosululloh, aku
ingin berada di dekatmu dan menyukai apa yang menggembirakanmu,” tetapi beliau
berdiri dan mengambil air wudhu, kemudian beliau berdiri melaksanakan sholat
yang panjang, beliau terus menangis dalam sholatnya, sampai basah pangkuannya,
dan basah pula tanah tempat beliah bersujud, kemudian datanglah Bilal untuk
menjembut beliau (melaksanakan sholat Subuh), ketika dia (Bilal) menjumpai
Rosululloh menangis maka dia mengatakan, ”Ya Rosululloh, Anda menangis?
Bukankah Alloh telah mengampuni dosa Anda, baik yang lalu atau yang akan
datang?” Beliau menjawab, ”Kenapa aku tidak menjadi
hamba yang bersyukur? Telah turun kepada-ku sebuah ayat, sungguh celaka bagi
umatku yang membacanya akan tetapi tidak memahaminya.” Kemudian beliau membaca
ayat : ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali
Imron : 190).” (Dishohihkan al-Albani dalam Shohih at-Targhib :
1468 dan ash-Shohihah : 68).
Sungguh alangkah jauhnya kita dari keikhlasan mereka…
Keikhlasan para salaf dalam beramal sholih
Adalah ’Ali bin al-Husain bin ’Ali rahimahullah, beliau biasa memikul karung berisi roti
setiap malam hari. Beliau pun membagi roti-roti tersebut ke rumah-rumah secara
sembunyi-sembunyi. Beliau mengatakan :
”Sesungguhnya sedekah secara sembunyi-sembunyi akan meredam
kemarahan Robb ‘Azza wa jalla”. Penduduk Madihan
tidak mengetahui siapa yang biasa memberi mereka makan. Tatkala ’Ali bin
al-Husain meninggal dunia, mereka sudah tidak lagi mendapatkan kiriman makanan
setiap malamnya. Di punggung Ali bin al-Husain terlihat bekas hitam karena
seringnya memikul karung yang dibagikan kepada orang miskin Madinah di malam
hari. (Hilyatul Auliya’, 3/135-136).
Berkata Abu Hazim Salamah bin Dinar : ”Sembunyikanlah
kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu,
dan janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak
tahu apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang
bahagia (masuk surga)”. (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 6500).
Ibrohim an-Nakha’i rahimahullah menceritakan,
”Sesungguhnya mereka dahulu –ulama salaf- apabila sedang berkumpul maka mereka
tidak suka apabila seorang –di antara mereka- harus mengeluarkan cerita terbaik
yang dia alami atau –mengeluarkan- perkara terindah yang ada pada diri mereka”.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak dalam az-Zuhd, dinukil
dari Tajrid al-Ittiba’ fi Bayan Asbabi Tafadhul al-A’mal, hal.
53 cet. Dar al-Imam Ahmad, 1428 H).
Keikhlasan para salaf dalam berdakwah
Ketika seorang penceramah mengadu kepada Imam Muhammad
bin Wasi’ seraya berkata, “Betapa aku melihat hati manusia tidak khusyu’, tidak menangis, dan sulit bergetar dengan
nasihat. Mengapa?” Muhammad berkata, “Wahai Fulan, menurut pandanganku, mereka
ditimpa keadaan demikian (tidak terpengaruh dengan nasihat yang kamu sampaikan)
tidak lain sebabnya adalah dari dirimu sendiri, sesungguhnya nasihat itu jika
keluarnya ikhlas dari dalam hati maka akan mudah masuk ke dalam hati (orang
yang mendengarnya).” (Siyar A’lam an-nubala :
6/122).
Keikhlasan kaum salaf dalam menuntut ilmu
Ad-Daruquthni rahimahullah mengatakan,
”Pada awalnya kami menuntut ilmu bukan semata-mata karena Alloh, akan tetapi
ternyata ilmu itu enggan, sehingga dia menyeret kami untuk ikhlas dalam belajar
karena Alloh.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, dinukil
dari Ma’alim, halaman 20).
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata,
“Semoga Alloh merahmati seseorang yang bisa menilai ketika timbul keinginannya.
Jika keinginannya karena Alloh dia teruskan, namun apabila untuk selainNya di
tangguhkan.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman :
5/458).
Kedudukan ikhlas bagi kaum salaf
Ibnu Qoyyim irahimahullah berkata, ”Beramal tanpa
keikhlasan dan ittiba’ (meneladani Nabi),
ibarat musafir yang mengisi kantongnya dengan pepasiran. Hanya memberatkannya
dan tidak bermanfaat baginya.” (al-Fawa’id, Ibnul
Qoyyim (691-751 H), hal. 55, tahun 1993, Darul Fikr, Beirut).
Al-Fudhoil bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan
firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala :
”Allohlah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
(QS. Al-Mulk : 2).
Beliau rahimahullah berkata,
”Yang dimaksud paling baik amalnya, yakni yang paling ikhlas dan paling benar
(dan sesuai tuntunan Alloh). Sesungguhnya amal itu apabila ikhlas tapi tidak
benar maka tidak akan diterima; dan apabila benar tetapi tidak ikhlas juga
tidak akan diterima. Jadi harus ikhlas dan benar. Suatu amalan dikatakan ikhlas
apabila dilakukan karena Alloh, dan yang benar itu apabila sesuai Sunnah
Rosululloh.” (Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, I/36).
Yahya bin Abi Katsir rahimahullah
berkata, “Pelajarilah niat karena niat lebih sempurna daripada amal.”
Ibnul Mubarak rahimahullah berkata
: ”Berapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niat dan berapa banyak
amalan besar menjadi kecil karena niat.”
Mutharrif bin ’Abdulloh rahimahullah berkata, ”Baiknya hati tergantung
dari baiknya amal dan baiknya amal tergantung dari baiknya niat.” (Dinukil dari
kitab Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam karya Ibnu Rojab
al-Hambali).
Imam al-Jailani rahimahullah berkata
kepada salah seorang muridnya, ”Beramallah dengan ikhlas dan jangan lihat
seluruh amal perbuatanmu. Amal perbuatanmu yang diterima adalah amal perbuatan
yang engkau tujukan untuk mengharapkan keridhoan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, bukan keridhoan manusia. Engkau
celaka jika beramal untuk manusia, namun engkau berharap perbuatanmu diterima
Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Ini perbuatan gila!” (Al-Fathu ar-Robbani : 36).
As-Susi rahimahullah berkata
: “Barangsiapa menyaksikan ikhlas dalam keikhlasannya maka keikhlasannya
membutuhkan ikhlas.”
Yusuf bin Husain ar-Rozi rahimahullah berkata, “Perkara yang paling mulia
di dunia adalah ikhlas, berapa kali aku bersungguh-sungguh dalam
menggugurkan riya’ dari hatiku, akan tetapi
seakan-akanriya’ itu tumbuh kembali dengan warna yang
berbeda. (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 2, karya Ibnu
Rojab al-Hambali, cet. Ke-1, Dar el-Aqidah, Kairo, Mesir. Tahun 2002).
Penutup
Kita akhiri pembahasan kali ini dengan doa seorang
salaf, Muthorrif bin ‘Abdillah rahimahullah berkata
dalam doanya : “Ya Alloh, aku memohon ampunan kepadaMu dari
dosa yang aku sudah bertobat darinya kemudian aku terjatuh lagi di dalamnya,
aku memohon ampunan kepadaMu dari amalan yang aku jadikan hanya untukMu
kemudian aku tidak menepatinya untukMu, dan aku memohon ampunan kepadaMu dari
amal yang aku anggap hanya untukMu, mengharap ridhoMu, kemudian bercam-purlah
hatiku dengan sesuatu yang Engkau mengetahuinya (maka ampunilah dosaku).”
(Jami’ al-‘Ulum wal al-Hikam, hal. 27, karya Ibnu Rojab
al-Hambali, cet. Ke-1, Dar el-Aqidah, Kairo, Mesir. Tahun 2002).
Sumber:
Majalah Adz-Dzakhiirah Edisi 70 :: Vol. 9 No. 04 :: 1432H/2011M